Dua Minggu TKW Koma di Malaysia, Paspor Tak Kunjung Jadi, Bingung Mengadu Pada Siapa

Gabena Harahap dan Emi menunjukkan foto Asna yang tersimpan di handphone (foto: Tribun Jambi/Jaka)

KEPALA Gabena Harahap (45) mendadak sering pening akhir-akhir ini. Bekerja tak enak, makan tak lahap istirahat pun tak tenang. Semua itu disebabkan perasaannya yang tertekan setelah mendengar kabar buruk. Asna (50) kakaknya terbaring tak sadarkan diri di sebuah rumah sakit di Malaysia.

Asna merupakan warga Dusun Patenam, Kecamatan Jujuhan Kabupaten Bungo. Perjalanan ke rumah Asna dari Muara Bungo ke Jujuhan memakan waktu 1,5 jam. Lokasinya berada di simpang empat TKA (Tidar Kerinci Agung), lalu belok sebelah kanan. Rumahnya sekitar 300 meter dari jalan lintas.

Selain Gabena, Tribun yang menyambanginya Sabtu (10/3) lalu juga bertemu dan Emi (26), anak kandung dari Asna.

Kabar itu datang sekitar dua minggu lalu. Gabena dan keluarga mendapatkannya dari media sosial, tepatnya dari akun Facebook seorang kawan kakaknya. Emi melihatnya di Facebook dan mengabarkannya pada Gabena.

“Untuk makan saja pas-pasan kami ini, mencari tahu itu tidak tahu mau kemana. Tidak tahu juga mau mengadu ke mana,” kata Gabena. Dia pun merasa malu mau menelepon lagi ke Malaysia sebab pembuatan paspor belum rampung.

Gabena bekerja sebagai petani sayur dan suaminya mejual sayur keliling. Alih-alih segera menerima uang, suaminya justru menerima pembayaran sayur sekali sebulan.

Adapun Emi, anak dari Asna, bekerja di Jakarta bersama adiknya. Awalnya Emi bekerja sebagai guru honor di desanya, tapi karena uang yang diterima kecil dia mencari peruntungan di Jakarta.

Emi sendiri memutuskan pulang ke Bungo karena kondisi ini. Dia mengatakan ibunya mengalami pendarahan di otak. “Ada pendarahan di otak. Sempat sadar sebentar tapi sekarang kondisinya tidak sadar lagi,” kata perempuan berjilbab merah jambu ini.

Dia mengatakan tagihan rumah sakit hingga saat ini mencapai Rp 75 juta. Belum ada yang bisa membayarkan. Mulanya majikan Asna menolongnya, tapi hanya pada awalnya saja. Karena mahalnya biaya majikannya merasa tak mungkin membiayainya.

Beberapa teman Asna di Malaysia terus mengabari. Dari kabar itu Gabena dan keluarga berinisiatif untuk mengunjungi Asna. Maka pergilah mereka ke Jambi untuk mengurus paspor. Namun, paspornya belum jadi hingga kini.

Keluarga lantas berinisiatif mengunjungi Asna di Malaysia. Gabena bersama keponakannya pergi ke Jambi untuk membuat paspor.

Sayangnya sudah satu minggu paspor tak selesai-selesai juga. Karena lama di Jambi mereka pindah membuat di Tungkal. Namun, ternyata bikin di Tungkal terhalang surat pembatalan di Jambi.

Agen yang menolong mereka bilang membutuhkan surat rekam medis karena ingin melihat orang sakit. Gabena tak mengerti, dia ikut saja karena merasa dia bukan orang sekolahan. Sudah hampir Rp 3 juta uangnya habis hanya untuk keliling mengurusi paspor ini.

Hingga kini Gabena dan keluarga mencari cara agar bisa sampai ke Malaysia dahulu. “Nanti kalau sudah sampai sana dan melihat kondisinya baru ambil langkah lain lagi,” kata Gabena dengan mata yang basah.

Emi mengatakan ibunya mengalami darah beku di otak dan sempat dioperasi. Dia mensinyalir kondisi kepala ibunya itu akibat pukulan yang dideritanya sebelum berangkat ke Malaysia.

Kejadian itu bermula saat Asna sedang menyadap karet. Seorang perempuan membawa sebuah karung bertanya pada Asna, apakah dia melihat babi lewat sini. Asna sambil menyadap mengatakan tidak ada. Hal itu sampai dua kali ditanya perempuan itu, Asna tetap mengatakan tak ada.

Tiba-tiba kepala bagian belakang Asna dipukul menggunakan karung itu. Dia terjatuh dan hendak lari, tapi wajahnya kemudian jadi sasaran pukulan dari karung itu. Isi karung ternyata adalah beberapa batu bata. Beruntung Asna selamat dari kejadian itu. Wajahnya biru. Dari kejadian ini Emi mensinyalir sakit ibunya adalah dampak jangka panjang dari pukulan itu.

“Karena sudah dipukul itu, ibu trauma mau keluar rumah,” kata Emi.

Hidup Asna pun pas-pasan. Tapi dia harus tetap mencari nafkah karena dia sudah tak bersama suaminya lagi. Tiba-tiba seorang kawannya menawarkan Asna untuk menjadi tenaga kerja di Malaysia. Asna diiming-imingi pekerjaan yang gampang dan gajinya lumayan. Lagi pula untuk menyadap karet dia merasa tak sanggup lagi.

Lantas dengan banyak persiapan dia kemudian berangkat. Sudah lebih dua bulan Asna di negeri jiran itu. Namun kabar-kabar yang didengar Emi dan keluarga, perusahaan penyalur TKI yang membawa Asna ternyata ilegal. Perusahaannya yang di Malaysia kata Emi sudah ditutup, sedang yang di Jambi keluarga tak tahu. Karena itu keluarga merasa bingung.

Emi mengatakan nama ibunya di kartu keluarga dan paspor saja berbeda. "Di KK Asna sedangkan di paspor Asni," katanya.

Kini Gabena dan Emi agak kebingungan. Mereka menunggu siapnya paspor sembari mencari bantuan agar Asna bisa segera dibawa pulang saja. “Tak ada yang menunggunya di rumah sakit,” kata Emi.

Emi mengatakan ada beberapa kerabat yang ingin membantu. Ada yang memasukkan surat dari orang dekat gubernur agar sampai ke gubernur, ada yang memasukkan permohonan ke anggota dewan. Meski pun begitu belum ada tanggapan hingga kini.

“Tapi kami fokus satu dulu, urus paspor dululah gitu. Jadi kalau sudah ke sana salah satu keluarga jadi tahu apa yang mau diselesaikan, yang penting sehat saja dulu,” ungkap Emi. Jika ada bantuan Emi akan sangat bersyukur. (Sumber: Tribun Jambi)

Comments