- Get link
- X
- Other Apps
- Get link
- X
- Other Apps
![]() |
Dokter Tigor Silaban (Foto: Facebook Montana Tobink) |
KETUA BEM UI, Zaadit Taqwa, boleh saja bangga karena telah jadi sorotan media, setelah memberikan kartu kuning kepada Presiden Joko Widodo, pada Jumat (2/1/2018).
Namun saat Zaadit Taqwa baru sebatas membuat kritis sensasional yang seolah-olah menunjukkan keberpihakannya kepada Papua, ada sosok yang perlu diteladaninya. Mungkin Zaadit dan pengikutnya akan malu saat melihat dedikasi pria tua tersebut untuk Papua.
Pria tua itu bernama Tigor Silaban. Dia seorang dokter, lulus S2 dari Universitas Indonesia. Pria yang kini sudah 65 tahun ini memilih mengabdikan diri di Papua daripada sibuk membuat kritik yang sensasional.
Pria berdarah batak itu berasal dari Bogor, Jawa Barat. Tigor yang merupakan anak dari Friedrich Silaban. Ayah Tigor ini adalah perancang Masjid Istiqlal, Jakarta.
Tigor telah puluhan tahun mengabdikan diri sebagai petugas kesehatan di Tolikara, Papua. Dia harus masuk dab keluar hutan untuk mencari orang yang butuh pertolongan medis.
Sebagai bukti cintanya kepada Papua, ayah dari tiga orang anak ini telah memilih menjadi warga Papua. Dia meningalkan Pulau Jawa yang penuh kemewahan duniawi, dan memilih bersama kelompok masyarakat yang termarginalkan sejak dahulu kala.
Dokter Tigor Silaban merupakan alumnus SMA Kanisius Jakarta. Dia sempat menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan di Kabupaten Jayawijaya sampai tahun 1993. Dia menyelesaikan Pendidikan kedokteran dan S2 di Universitas Indonesia.
Pria kelahiran Bogor 1 April 1953 ini sudah mengantongi 38 tanda jasa di bidang kesehatan. Kalau Zaadit berapa ya?
Akun Facebook Montana Tobink membagikan kisah dokter tua ini ke grup-grup facebook. Akun ini seolah ingin memberikan makna ke orang-orang agar lebih baik berbuata daripada sibuk cari sensasi.
Berikut postingan lengkap dari akun Facebook Montana Tobink.
Bapak yang berpose ditengah ini adalah Tigor Silaban, 65 tahun.
Ia legenda di pedalaman Papua.
Begitu lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 37 tahun lalu, ia sudah memantapkan hati untuk tidak membuka praktik di kota.
Ia memilih bekerja di pedalaman Papua, langsung di Oksibil, Puncak Jaya di kawasan Jayawijaya. Untuk mencapainya, saat itu, hanya dengan berjalan kaki selama seminggu dari Wamena -- dan ia melakukan itu berkali-kali sejak pertama tiba.
Bukan medannya saja yang begitu sulit, daerahnya pun dicap merah: penembakan sporadis masih marak di sana.
“Tapi saya sudah berjanji kepada Tuhan, kalau saya lulus, saya ingin bekerja di pedalaman Papua, jauh dari Jakarta. Saya ingin menolong orang, dan tidak ingin praktik,” katanya suatu ketika.
Baru bebepa bulan bertugas di Oksibil, ada dokter yang terbunuh. Ia pun diminta pindah, tapi warga setempat marah. Di Oksibil, ia satu-satunya dokter.
Begitulah.
Selama puluhan tahun di pedalaman Papua itu, tak terbilang lagi perjalanan yang ditempuhnya berminggu-minggu lamanya sekali perjalanan, dari kampung ke kampung untuk menggapai rumah penduduk yang sakit.
Sampai hari ini, Tigor Silaban masih di Papua. Namanya menjadi legenda di pedalaman. Tidak heran, dalam dirinya mengalir darah legenda lain, arsitek kenamaan yang merancang Masjid Istiqlal -- Friedrich Silaban, ayahnya." (*)
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment