Ita Donor Ginjal Demi Lunasi Utang, Tapi Habis Manis Sepah Dibuang

ITA Diana, perempuan 41 tahun, merelakan satu ginjalnya kepada orang lain demi melunasi utang ratusan juta rupiah. Tapi nasibnya malah terkatung-katung, sebab uang yang dijanjikan sebagai kompensasi ginjal itu jauh dari yang diharapkan.

Perempuan itu terlihat menyimpan kesedihan mendalam atas deritanya. Kesehatan Ita juga selalu drop setelah pencabutan ginjal. Fisiknya tak boleh lagi terlalu capek.

Ita Diana bersama pengacara (Foto: DetikX)
Sudah 10 bulan ini dia hidup dengan satu ginjal, setelah ginjalnya yang di sebelah kiri dia jual, demi mendapat uang untuk melunasi utang.

Ita kini tinggal di rumah yang beralamat di Jalan Wukir, Gang 10, RT 05 RW 01, Kelurahan Temas, Kota Batu, Jawa Timur. Itu rumah mertuanya. Bersama suaminya, Kasyadi (45 tahun) dan tiga orang anaknya, mereka terpaksa menumpang hidup di rumah pasangan Supai dan Jumaiyah itu.

Rumah mereka sebelumnya yang berada di Jalan Wukir, Gang 5, telah dijual pada medio 2016. Rumah mertuanya yang sangat sederhana dan berukuran kecil itu, kini sesak karena diisi tujuh orang.

Entah mengapa pasangan suami-istri itu menjual rumahnya. Ita hanya mengaku ia dan Kasyadi, yang sehari-harinya bekerja serabutan, punya utang Rp 350 juta ke sebuah koperasi di desanya.

Ita enggan mengungkapkan mengapa bisa ada utang sebesar itu untuk apa. Kasyadi juga menolak berbicara. Dia di kamar. Sebelumnya dia kerja di Kalimantan.

Selain menjual rumah, Ita nekat menjual ginjal kirinya tanpa izin Kasyadi dan keluarga besarnya. Niat menjual organ tubuh itu berawal saat Ita menemani salah satu sahabatnya yang tengah dirawat di RS dr Saiful Anwar (RSSA), Kota Malang, Februari 2017.

Selama 10 di rumah sakit, Ita sering berbincang-bincang dengan para perawat dan asisten dokter. Pada perbincangan itu Ita sempat menceritakan kesulitan hidup akibat terlilit utang.

Mungkin karena kasihan, kata Ita, satu perawat RSSA menyarankan Ita menemui dr Atma Gunawan dan dr Rifai. Dua dokter itu adalah ketua dan anggota Tim Transplantasi Ginjal RSSA.

Dorongan dan keinginan agar utangnya segera lunas, Ita berani menemui dua dokter ginjal itu, diantar oleh perawat yang merekomendasikan.

Pertemuan dengan kedua dokter itu tidak satu kali, tapi berlangsung beberapa kali. “Ibu jangan khawatir. Kalau ginjal mau diberikan, pasti penerima ginjal akan melunasi beban utang Ibu,” terang Ita menirukan pembicaraannya dengan tim dokter itu.

Tak berapa lama, Ita dipertemukan dengan Erwin Susilo, yang merupakan pengusaha showroom mobil di Kota Malang, yang sedang menderita gagal ginjal. Sejak Juli 2016, Erwin melakukan cuci darah dua kali seminggu di RSSA. Saat itu Erwin tengah antre untuk menjalani pencangkokan ginjal.

Ita juga bertemu dengan istri Erwin yang bernama Ninik. Saat itu, baik Erwin maupun Ninik berjanji bakal melunasi utang yang selama ini menjadi beban Ita.

Akhirnya mereka sepakat 'jual-beli' ginjal. Setelah dites, ternyata ginjal Ita cocok didonorkan kepada Erwin. Walau tak ada perjanjian mereka di atas kertas, Ita percaya atas janji pelunasa utang itu, sebab yang terlibat adalah dokter-dokter RSSA.

"Sudah, tidak usah dipikir. Yang penting Bapak (Erwin) sehat dulu. Keluarga kami tak akan menutup mata, pasti membantu kebutuhan Ibu,” cerita Ita menirukan perkataan Ninik.

Setelah ada kesepakatan tersebut, Ita diinapkan di Jonas Homestay, Jalan Dr Soetomo, yang lokasinya tak jauh dari RSSA, 17-24 Februari 2017. Selama menginap itu, Ita hanya diberi Rp 75 ribu per hari oleh Erwin dan Ninik. Setelah itu, Ita diinapkan di ruang paviliun kelas 1 RSSA untuk menjalani operasi pengangkatan ginjal.

Setelah menjalani operasi, saat itulah Ninik memberikan uang tali kasih Rp 74 juta secara bertahap. Pertama diberikan Rp 50 juta, kedua Rp 20 juta, dan ketiga Rp 4 juta. Ita mengira akan diberi uang lagi untuk menutupi utangnya. Tapi, setelah ditunggu, Erwin tak pernah menghubungi dan memberikan uang lagi.

Ita terpaksa menyambangi rumah Erwin di Jalan Kaliurang 6, Malang, untuk menanyakan sisa uang yang akan diberikan guna melunasi utang. Sungguh kagetnya dia lantaran bukan uang yang diterima, melainkan hinaan dan pengusiran.

Ita Diana menunjukkan bukti Whatsapp (foto: DetikX)

“Saya sudah tagih beberapa kali, tapi Pak Erwin malah mengusir dan menghina saya,” ungkap Ita lirih. Matanya berkaca-kaca saat menceritakannya.

Ita juga mendatangi dr Atma dengan harapan bisa menjembatani dirinya dengan keluarga Erwin. Bukan mendapatkan uang, Ita justru semakin tertekan.

Ita malah ditakut-takuti bisa masuk penjara apabila terus-menerus menuntut sisa pembayaran operasi donor ginjalnya. “Kalau saya ramai atau nagih, kata dokter, malah saya bisa masuk dipenjara. Saya makin takut dan bingung,” ujar Ita.

Pada saat itu dr Atma memintanya agar membuat rekening bank. Ia mendapat uang Rp 500 ribu per bulan untuk membiayai sekolah anak-anaknya.

Tapi sebulan belakangan ini, transfer itu terhenti. Disarankan temannya agar mengadu, Ita tidak mau. Teman-temannya mengunggah kasus Ita tersebut ke media sosial.

Unggahan itu membuat seorang pengacara bernama Yossiro Ardhana Rahman tergugah membantu. Yossiro dan beberapa rekannya pengacara mencoba mempertemukan Ita dengan Erwin dan RSSA.

Erwin bersama Ninik lalu menemui Ita di Balai Latihan Kerja Guna Karya Insan Mandiri di Jalan Metro Nomor 7, Kelurahan Bunulrejo, Kota Malang, pada 21 Desember 2017.

Pertemuan dilakukan di tempat itu karena Ita sedang menjalani pelatihan sebagai tenaga kerja Indonesia. Sayang, pertemuan tertutup itu tak membuahkan jalan keluar yang menggembirakan.

Akhirnya Yossiro dan Ita melaporkan dugaan tindak kejahatan pencurian dan penipuan dengan janji uang yang tak terbayarkan ke Polres Kota Malang.

Yossiro mengatakan pihaknya sudah meminta klarifikasi kepada RSSA mengenai transplantasi ginjal yang dialami kliennya itu pada 28 Desember 2017. “Mereka sampai saat ini belum juga memberikannya,” terang Yossiro.

RSSA Malang mengakui telah melakukan transplantasi ginjal sebanyak 16 kali. Ita merupakan donor ke-17. Pasien memang harus antre untuk mendapatkan ginjal.

Namun rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur tersebut membantah bila disebut telah melakukan praktik jual-beli ginjal.

RSSA menegaskan operasi transplantasi ginjal dari Ita ke Erwin telah sesuai dengan standard operating procedure (SOP) rumah sakit dan UU 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Transplantasi juga tak ada hubungannya secara pribadi dengan dr Atma sebagai ketua tim transplantasi ginjal.

“Semua kuasa penuh dan proses yang dilakukan sesuai dengan SOP yang diatur oleh RSSA,” terang Ketua Komite Medik RSSA Malang Istan Irmansyah di RSSA Malang, pada Jumat, 22 Desember 2017.

Sementara itu, dr Atma membantah anggapan sengaja cari calon donor dan terlibat transaksi jual-beli ginjal. Timnya berani melakukan operasi setelah Ita dan Erwin melakukan kesepakatan. “Semua sudah mengacu kepada SOP dan peraturan Menkes,” katanya.

Permenkes No 38 Tahun 2016 menyebutkan setiap transplantasi organ tubuh wajib disertai perjanjian hitam di atas putih yang dibuat di hadapan notaris. Isinya menjelaskan proses itu dilakukan secara sukarela.

Apabila syarat itu tak terpenuhi, kuat dugaan proses transplantasi dilakukan secara ilegal atau diduga terjadi tindak pidana penjualan organ tubuh manusia.

Namun, ketika diminta diperlihatkan kesepakatan yang telah ditandatangani oleh Ita dan Erwin, dr Atma malah menolak. “Jangan, ini sudah menyangkut privasi orang,” alasannya. Anehnya, pada saat ini pihak RSSA Malang tengah melakukan audit internal terhadap kasus ini.

Kuasa hukum Erwin, Maskur, menjelaskan kliennya sudah dimintai keterangan oleh penyidik Polres Kota Malang dan tim dari Polda Jawa Tengah terkait masalah ini, 2 Januari 2018. Dalam keterangannya, Erwin mengatakan memang menjadi pasien gagal ginjal sejak dua tahun lalu, sempat dirawat di RS Pantai Panti Waluyo, Malang.

Karena pengobatan dan operasi tak dijamin BPJS Kesehatan, akhirnya Erwin dipindahkan ke RS Persada Hospital di Jalan Panji Suroso. Di rumah sakit swasta itu, Erwin menjalani cuci darah dua kali seminggu sejak April 2016. Baru pada Juli 2016, Erwin pindah ke RSSA.

Saat di RSSA, pengakuan Maskur, kliennya menerima tawaran donor ginjal dari Ita. Awalnya tawaran ini disampaikan Ita atas dasar kemanusiaan dan tolong-menolong. Kalaupun ada pemberian uang, yang menurut versi Maskur Rp 90 juta, merupakan bentuk tali kasih dari Erwin kepada donor.

Bahkan, dari keterangan dr Rifai, yang melakukan operasi transplantasi ginjal, biaya pemeriksaan, seperti cek golongan, sel darah, dan jantung, ditanggung Erwin, sebesar Rp 30 juta. Erwin juga memberi kompensasi Rp 15 juta per bulan selama tiga bulan dan biaya asuransi Rp 5 juta. Totalnya mencapai Rp 50 juta.

Semua ini tertuang di surat perjanjian persetujuan para pihak yang hadir, seperti Erwin-Ninik, Ita, saudara Ita, dan dr Atma. Tapi lagi-lagi, Maskur mengaku tidak bisa memberikan fotokopi surat perjanjian itu.

“Kami tidak diizinkan karena itu merupakan dokumen negara, mengingat rumah sakit punya pemerintah, bukan swasta,” ucap Maskur, Kamis, 4 Januari 2018. Dia menambahkan, bila kasus ini dilanjutkan ke jalur hukum, pihaknya siap menghadapi.

Kepala Satuan Reksirm Polres Kota Malang AKP Ambuka Yudha menuturkan sudah memeriksa sejumlah orang terkait kasus itu. Taou ketika ditanya apakah telah memeriksa Erwin, ia tidak memberikan jawaban tegas.

“Kami sudah memeriksa dua orang, korban dan saudaranya,” ucap Ambuka saat dimintai konfirmasi.

Yossiro berharap penanganan kasus ini berjalan sesuai dengan fakta hukum yang ada. Kasus yang menimpa Ita sangat merugikan. Selain telah kehilangan organ tubuhnya, beban utang Ita masih besar.

“Kami ingin segera RSSA memberi penjelasan, termasuk soal surat penandatanganan atau perjanjian. Mereka mengatakan tengah melakukan audit internal dan menunggu proses ini selesai,” tutur Yossiro.

Sejak kasus ini muncul ke publik, Ita lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Padahal ia tercatat sebagai calon TKI yang akan berangkat ke Hong Kong pada awal 2018. “Saya berniat menyelesaikan masalah ini dulu. Semua menginginkan saya tidak berangkat,” katanya.

Saat ini pihak koperasi yang menagih utangnya jarang datang. Tapi masalah lain muncul, yaitu dari perusahaan penyalur TKI, yang meminta uang ganti rugi karena dia tidak jadi berangkat ke Hong Kong.

Yossiro meminta Ita tenang dan lebih banyak istirahat di rumah sampai kasusnya selesai. Keluarga, khususnya suaminya, juga sudah mendukungnya secara penuh untuk menempuh jalur hukum.

“Awalnya saya takut karena suami dan anak-anak pasti marah. Alhamdulillah, setelah masalah ini ramai diberitakan, suami dan anak-anak mendukung asalkan semuanya itu benar,” ujarnya. (Sumber: DetikX)

Comments