Kisah Lucu Butet Manurung dengan Orang Rimba di Pedalaman Hutan Jambi

Tiga Anak Rimba. Kiri ke kanan: Becayo, Menosur, dan Penangguk
(Foto: Facebook/Sokola Rimba)

NAMA Butet Manurung tentu tak asing lagi, terlebih bagi para pegiat lingkungan. Nama lengkapnya Saur Marlina Manurung, yang lahir di Jakarta 21 Februari 1972.

Dia merupakan sosok perempuan yang sungguh luar biasa. Dia mendedikasikan hidup untuk suku-suku pedalam, mengajari mereka agar bisa bersaing dengan dunia luar.

Perjalanannya mulai terekam saat masuk ke pedalaman Provinsi Jambi, mengajari Orang Rimba, atau juga biasa disebut suku anak dalam. Dia berjuang untuk suku yang tak dikenalnya itu, yang dominan buta aksara.

Majalah Time yang juga mengikuti rekam jejaknya, dan menganugerahi perempuan yang berdarah batak itu dengan penghargaan "Heroes of Asia Award 2004". Ini bukanlah penghargaan sembarangan. Hanya untuk yang berdedikasi tinggi.

Saat berada di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, dan mengajari Orang Rimba supaya tidak menjadi korban pembodohan, banyak kisah-kisah menarik yang dia dapatkan.

Tapi perlu diketahui, Butet tidak gampang masuk ke sana, pernah ada penolakan kepadanya dari Tetua Orang Rimba, karena dianggap bisa merusak adat-istiadat Orang Rimba.

Satu di antara kisah menarik itu adalah kekocakan anak-anak Rimba yang sangat polos. Kisah itu ditunakgna oleh Fawaz, yang merupakan seorang aktivias yang bernaung bersama Butet Manurung di lembaga Sokola Rimba.

Berikut kisah yang dituangkan Fawaz, dalam laman Facebook Sokola Rimba, pada 20 November 2017, yang sudah dibagikan 21 kali oleh netizen pada 22 November.

Saur Marlina Manurung alias Butet Manurung
(Foto: net)

Selamat Hari Anak Sedunia

Kisah ini saya dengar langsung dari Kak Butet dan Bang Dodi. Cerita tentang tiga anak ngocol ini terjadi sekitar tahun 2006 hingga 2007, sesaat sebelum Kak Butet melanjutkan studi S2 di Australia.

Saat itu, limbah plastik kemasan makanan dan minuman mulai banyak masuk rimba seiring makin tingginya kontak antara Orang Rimba dengan dunia luar. 

Sebelumnya, limbah yang dihasilkan Orang Rimba adalah limbah organik yang mudah terurai. Ketika limbah plastik masuk, limbah ini sulit terurai dan sangat mengotori rimba.

"Ibu Guru, kenapa plastik itu masih ada terus, tidak hilang seperti sampah lainnya?" Tanya Becayo kepada Ibu Guru Butet.

Kemudian Kak Butet dibantu Bang Dodi menjelaskan dengan sederhana kenapa limbah plastik tidak menghilang usai dibuang.

"Terus, kita harus gimana, Dodi?" Tanya Menosur.

"Begini, sampah plastik itu harusnya dikelola produsen dan pemerintah karena pemerintah tarik pajak setiap kita beli barang, dan produsen kena hukum untuk bertanggungjawab mengurus sampah plastik itu." Terang Dodi.

"Produsen itu apa, Dodi?"

"Produsen itu yang bikin barang yang limbah plastiknya sampai ke kita ini." Terang Ibu Guru Butet.

"Oh, jadi mereka yang harus bertanggungjawab?" Tanya Becayo.

"Iya, kita kembalikan sampah plastik ini ke mereka, lewat pasar."

"Ha, ayo guding, ayo bergerak." Ajak Menosur kepada Becayo dan Penangguk.

Becayo mengambil syal milik Kak Butet kemudian mengikat syal itu melilit di kepalanya. 

Menosur dan Penangguk mengambil kaca mata milik Kak Butet dan Bang Dodi, mengenakannya, kemudian mereka semua mengambil karung dan plastik besar untuk mengumpulkan limbah plastik yang ada di sekitar Sokola Rimba dan kediaman mereka.

Gerakan ini pada akhirnya terus berlangsung hingga kini, 'Gerakan Kembali ke Pasar', begitu mereka menyebutnya. Mengembalikan limbah plastik ke pasar tempat mereka membeli produk-produk berkemasan plastik untuk meminta para penjual mempertanggungjawabkan limbah plastik yang mereka jual.

Saat peristiwa ini terjadi, Becayo, Menosur, dan Penangguk masih berusia antara tujuh hingga delapan tahun. Diskusi antara guru dan murid selalu terjadi di Sokola Rimba sebelum sebuah kegiatan, pelajaran, kurikulum dan aksi dilakukan. 

Membangun kesadaran kritis bersama-sama adalah kunci utama dalam pendidikan. Semua itu bertujuan agar pendidikan betul-betul bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, dan bisa membantu memecahkan permasalahan yang ada di sekitar komunitas.

Kini mereka bertiga sudah beranjak dewasa. Mereka berpisah dalam pergerakan namun tetap dalam satu tujuan perjuangan, demi kedaulatan adat Orang Rimba.

Menosur kini menjadi kader Sokola Rimba, Ia lebih sering di luar rimba untuk mengadvokasi hak-hak Orang Rimba. Seperti hari ini, Ia di Jakarta membawa peta hutan adat dan ruang hidup Orang Rimba untuk diserahkan kepada pihak berwenang agar segera disahkan sebagai hutan adat milik Orang Rimba.

Penangguk juga menjadi kader Sokola Rimba, Ia lebih banyak di dalam rimba, bertugas mengajar murid-murid yang masih kecil.

Sedang Becayo, Ia memilih betul-betul berada di rimba. Latar belakang orang tua yang seorang tumenggung, dan kedua kakeknya yang adalah kepala adat dan mantan tumenggung, membuat Becayo memilih meneruskan jejak leluhurnya berjuang dari dalam rimba. 

Becayo kini terkenal sebagai 'hantu perburuon', di usianya yang masih belum genap 20 tahun, ia sudah kesohor sebagai jagoan dalam berburu. 

Pernah sekali waktu saat saya kebetulan berkunjung kembali ke rimba, dalam semalam Becayo berhasil mendapat delapan ekor binatang buruan sekaligus. Semuanya kena jerat yang dipasang Becayo.

Selamat hari anak sedunia. Mari terus berjuang demi keadilan pendidikan bagi seluruh anak Indonesia.

Comments